Contact Form

 

Nama, Nama, Nama



Ide saya adalah “Nama, Nama, Nama”. Semakin banyak nama yang muncul maka akan semakin banyak sukarelawan yang mau menjadi agen promosi. Bila di sebuah koran ada nama saya disana sebagai penulis artikel saja, maka saya pastikan akan membeli lebih dari satu koran. Bila disebuah majalah ada nama saya meski sedikit konten, saya akan menyimpan beberapa edisi majalah itu, bahkan paling ekstrim, akan saya bagikan ke teman-teman terdekat saya. Saya juga akan meletakkan majalah atau koran itu di ruang tamu, dengan tumpukan paling atas. 
Itulah fitrah manusia. Maka,karena nama itu menjadi penting, semakin banyak nama yang masuk akan semakin banyak orang yang dengan sukarela menjadi agen promosi. Program yang saya bawa ada tiga.Ini tidak berhubungan dengan bagaimana menggunakan social media, karena pasti banyak yang berfikiran sama. Saya mencoba menemukan sesuatu yang lebih interaktif, dengan melibatkan lebih banyak nama. Ketiga ide itu dengan cepat kilat saya tuliskan dalam blog sederhana ini. Postingan selain dari review buku ya, hehe

Total comment

Author

Unknown

Bagiaman jika penulis-penulis pemula itu dimasukan dalam ajang writingthon, DARI Writing Marathon. Aha, penulis pemula itu dibimbing untuk menuliskan buku pertamanya bab demi bab. Diberikan waktu khusus untuk menyelesaikan buku pertamanya. Bila biaya produksi begitu mahal, kenapa tidak terbitnya menjadi ebook saja? Bagi penulis pemula, terbit buku dengan penerbit besar itu, tak peduli ebook atau hard book, tetap saja menggoda. Dan dengan sukarela mereka akan menjadi agen promosi tak berkesudahan. 

Total comment

Author

Unknown

Bagiamna jika penulis pemula yang jumlahnya tak terbilang itu bisa langsung kirim potongan naskahnya dan dikoreksi oleh editor? Pasti ciamik. Siapa coba calon penulis yang tidak mau bertemu dengan editor penerbut seperti Bentang. Dengan itu, akan banyak lahir calon penulis baru, lebih penting, mereka akan dengan sukarela membagikan cerita mereka bersama Bentang melalui berbagai cara. Bukankan promosi yang menarik itu yang dengan sukarela dilakukan oleh orang lain? Buah bibir selalu lebih menggoda bukan. 

Total comment

Author

Unknown


Bagimana rasanya saat semua orang bisa mendapatkan sampul bukunya yang di desain oleh Bentang? Bagimana rasanya jika penggemar buku-buku Bentang itu yang ingin menjadi penulis lalu memulai menulis sebuah judul buku dan di desainkans ampul buku? Pasti menarik sekali, orang itu akan dengan sukarela membagikannya ke istagram, facebok, dan lain-lain. Bahkan mereka akan mengubah foto profil mereka dengan itu. 
Lalu apa pentingnya bagi bentang? 
Disampul itu, cantumkan banyak informasi menarik dan penting seputar Bentang. Bukan hanya sampul bernama dengan logo penerbit, tetapi bubuhkan informasi event keren Bentang. Oarng akan menjadi agen promosi sendirinya. Sepertinya Menarik. 

Total comment

Author

Unknown

Saya tidak perlu berfikir panjang untuk membeli buku berjudul “Sirkus Pohon” itu. Begitu saya temua di Gramedia Yogyakarta, tidak peduli berapa uang saya, pasti saya akan membelinya. Hanya saya, karena saya tidak ingin keasyikan membaca buku itu berlalu begitu cepat, sampai sekarang saya sengaja belum mengkhatamkan buku itu.Sayang sekali, tetapi saya memang belum ingin mengkhatamkannya.
Bila motivasi saya sedang surut, atau saya sedang dalam resah berkepanjangan, saat itulah buku itu akan bersama saya. Sebab, buku Andrea Hirata, selalu berhasil memenuhi semangat saya kembali.

Total comment

Author

Unknown

Saya selalu suka membawa buku ketika bepergian. Khususnya saat saya tau pasti akan ada banyak waktu menunggu disana. Menungu untuk naik kereta. Menunggu di bandara. Menunggu menjemput tamu. Dan termasuk menunggu utuk sampai kembali dari perjalanan jauh. Di tas saya, selalu akan ditemukan sebuah buku untuk menemani waktu-waktu itu. 
Sebagai penggemar Andrea Hirata, hadirnya novel terbitan Bentang Pustaka berjudul “Ayah” tentu adalah kado tersendiri. Saya memang selalu menanti-nantikan karya itu. Maka saat novel “Ayah” telah beredar, saya pastikan akan segera memburunya. 
Hanya saya, awal mula membaca novel itu, saya lagi-lagi merasa bingung dibuatnya. Sama seperti saat saya membaca novel “Sang Pemimpi” dimana 10 halaman pertama memaksa saya mengulang hingga lima kali. Di novel ayah, lagi-lagi Andrea Hirata mengawali dengan cara yang ‘agak rumit’ dalam perspektif saya. Makanya, saya tidak langsung menghabiskan buku itu seketika. Atau barangkali karena saya sedang dalam mode stress akut yang membuat saya perlu bahan bacaan yang lebih ringan lagi. Tetapi, saya tetap membawa buku itu dalam tas. 
Saat saya mengakhiri masa kursus di Kediri dan hendak kembali lagi ke Bengkulu, diantara sekian banyak novel yang saya bawa, saya memilih “Ayah” untuk turun ke kabin. Barangkalai karena saya sednag rindu Ayah saya juga. Sementara buku lain menetap di bagasi. 
Sejak menunggu di Bandara Juanda, akhirnya saya berhasil masuk ke ritme novel “Ayah”. Dan sama seperti karya sebelumnya, saya benar-benar tidak berhenti membaca novel itu. Apalagi saya baru akan sampai di Bengkulu jam 9 malam, dan sejak jam 7 pagi saya sudah stay di Bandara Juanda dan Menuju Bandara Sukarno Hatta. 
Novel Ayah itu terus mengalir. Menggelitik. Kadang membuat saya senyum sendiri, dan seketika mengantar saya ke suasana epik yang haru biru. Saya tidak bisa menahan untuk tidak terharu. Ya tentu tidak sampai menangis, saya masih sungkan untuk itu. 
Cerita itu mengalir, bagaimana perjuangan Sabari yang begitu sabarnya. Bagimana Sabari yang begitu polosnya. Bagimana cinta Sabari yang begitu putihnya. Dan bagaimana Sabari kadang bertingkah begitu lugu, tetapi pilu. 
Novel itu khatam saat malam di langit Hindia. Saat menit sebelum saya mendarat di Bandara Fatmawati. Saat orang-orang sedang tertidur di tegah deru pesawat. Saat lampu kabin sedag padam tentram. 
Buku itu khatam dengan perasaan haru. Tentang epik cerita cinta ayah yang begitu membiru. Tentang definisi cinta yang putih, tulus, dan selalu menarik untuk di gali. Bersama kerinduanku akan Ayah, dan cintanya yang sellau saja kuabaikan. 

Total comment

Author

Unknown

Semuanya yang mustahil selalu punya tempat yang lebih menarik untuk di jadikan wahana petualangan baru. Bagi anak-anak yang jauh dipelosok, dengan hidup yang sederhana nyaris melarat, yang hisup jauh dari hiruk pikuk ambisi kota besar, tetapi selalu punya kekuatan untuk menembus batas. 
Buku pertama yang saya beli adalah buku berjudul “Sang Pemimpi” karangan Andrea Hirata. Benar-benar buku yang pertama saya beli seumur hidup. Tepat setelah perpisahan SMA dan saya mendapat reward berupa sejumlah uang atas diterimanya saya di Universitas Bengkulu melalui jalur prestasi. Uang itu segera saya belenjakan sebuah buku bersamoul biru. Sambulnya begitu dalam, dan judulnya pun begitu saya sukai. “Sang Pemimpi”, aih macam saya yang ingin sellau bisa bermimpi. 
Karena saya hanya sanggup membeli satu buku, maka itulah buku yang saya pilih. Saat memulai membacanya, saya dibuatnya bingung. Saya menenrka-terka, apa maksud halaman-halaman awal ini. Saya benar-benar mengulangi membaca buku itu berkali-kali. Haingga saya sadari, rupanya buku ini adalah edisi kedua dari Laskar Pelangi. Pantas saya bingung. Tapi saya harus tetap membacanya, bahkan buku sekelas “Ziarah” karya Iwan Simatupang saja, atau “Ronggeng Dukuh Paruk” itu berhasil saya tahlukkan, pasti buku ini pun akans aya tahlukkan. 
Benar saja, semakin lama saya semakin tertarik, masuk ekd alam cerita petualangan yang menggairahkan. Saya benar-benar terkesan dengan tulisan ini. Dan saya mengingat tiga hal setelah itu, yaitu Andrea Hirata, Laskar Pelangi, dan Bentang Pustaka. 

Total comment

Author

Unknown