Contact Form

 

Saat “Ayah” mengakhiri Perjalananku


Saya selalu suka membawa buku ketika bepergian. Khususnya saat saya tau pasti akan ada banyak waktu menunggu disana. Menungu untuk naik kereta. Menunggu di bandara. Menunggu menjemput tamu. Dan termasuk menunggu utuk sampai kembali dari perjalanan jauh. Di tas saya, selalu akan ditemukan sebuah buku untuk menemani waktu-waktu itu. 
Sebagai penggemar Andrea Hirata, hadirnya novel terbitan Bentang Pustaka berjudul “Ayah” tentu adalah kado tersendiri. Saya memang selalu menanti-nantikan karya itu. Maka saat novel “Ayah” telah beredar, saya pastikan akan segera memburunya. 
Hanya saya, awal mula membaca novel itu, saya lagi-lagi merasa bingung dibuatnya. Sama seperti saat saya membaca novel “Sang Pemimpi” dimana 10 halaman pertama memaksa saya mengulang hingga lima kali. Di novel ayah, lagi-lagi Andrea Hirata mengawali dengan cara yang ‘agak rumit’ dalam perspektif saya. Makanya, saya tidak langsung menghabiskan buku itu seketika. Atau barangkali karena saya sedang dalam mode stress akut yang membuat saya perlu bahan bacaan yang lebih ringan lagi. Tetapi, saya tetap membawa buku itu dalam tas. 
Saat saya mengakhiri masa kursus di Kediri dan hendak kembali lagi ke Bengkulu, diantara sekian banyak novel yang saya bawa, saya memilih “Ayah” untuk turun ke kabin. Barangkalai karena saya sednag rindu Ayah saya juga. Sementara buku lain menetap di bagasi. 
Sejak menunggu di Bandara Juanda, akhirnya saya berhasil masuk ke ritme novel “Ayah”. Dan sama seperti karya sebelumnya, saya benar-benar tidak berhenti membaca novel itu. Apalagi saya baru akan sampai di Bengkulu jam 9 malam, dan sejak jam 7 pagi saya sudah stay di Bandara Juanda dan Menuju Bandara Sukarno Hatta. 
Novel Ayah itu terus mengalir. Menggelitik. Kadang membuat saya senyum sendiri, dan seketika mengantar saya ke suasana epik yang haru biru. Saya tidak bisa menahan untuk tidak terharu. Ya tentu tidak sampai menangis, saya masih sungkan untuk itu. 
Cerita itu mengalir, bagaimana perjuangan Sabari yang begitu sabarnya. Bagimana Sabari yang begitu polosnya. Bagimana cinta Sabari yang begitu putihnya. Dan bagaimana Sabari kadang bertingkah begitu lugu, tetapi pilu. 
Novel itu khatam saat malam di langit Hindia. Saat menit sebelum saya mendarat di Bandara Fatmawati. Saat orang-orang sedang tertidur di tegah deru pesawat. Saat lampu kabin sedag padam tentram. 
Buku itu khatam dengan perasaan haru. Tentang epik cerita cinta ayah yang begitu membiru. Tentang definisi cinta yang putih, tulus, dan selalu menarik untuk di gali. Bersama kerinduanku akan Ayah, dan cintanya yang sellau saja kuabaikan. 

Total comment

Author

Unknown

0   comments

Cancel Reply